“Mega bukan Megawati politik, tapi Mega yang bisa “SMASH” bola lebih kenceng dari suara buzzer politik di Medsos”
Surabaya [Jatim] botvkalimayanews com|| Kamis malam yang harusnya jadi panggung penyambutan megah berubah jadi semacam ghosting nasional.
Mega bukan Megawati politik, tapi Mega yang bisa “smash” bola lebih kenceng dari suara buzzer politik di medsos pulang kampung. Tapi sambutannya? Mirip kayak mantan: dingin, diam, dan pura-pura lupa.
Mega Pertiwi, sang Garuda lapangan voli dari Daejeon, Korea Selatan, baru aja mendarat di tanah air. Setelah jadi bintang di liga keras Asia, dia pulang dengan cedera di bahu, lutut, dan paling parah: di hatinya.
Negara? Ghosting Dulu Aja.
Tak ada karpet merah, tak ada Menteri yang selfie, tak ada pejabat yang kasih bunga. Yang ada cuma roda koper yang ngelindes harga diri bangsa. Padahal, kalau yang datang itu selebgram ke Korea buat konten mukbang, yakin deh, satu Kementerian bisa nunggu di bandara sambil bawa spanduk LED.
“Mega! Kami bangga padamu!” teriak fans dari balik pagar. Mereka cuma belasan, tapi semangatnya lebih rame dari rapat paripurna yang cuma isinya scroll TikTok.
Mega berdiri. Matanya sayu. Matanya seperti ingin berkata: “Aku sudah berlari sejauh ini… buat siapa?”
Volleyball vs Politik: Bola Mana yang Lebih Laku?
Waktu ditanya kenapa negara nggak nyambut, Mega cuma bilang, “Aku cuma bawa bola, bukan suara pemilu.”
Duar. Smash itu lebih menyakitkan daripada serangan lawan di lapangan.
Karena memang begitulah negeri ini, kawan. Atlet yang mengangkat nama bangsa disambut dengan kesepian. Tapi yang viral karena gosip atau debat kusir dapat panggung lebih megah dari pernikahan sultan Andara.
Rumah, Tapi Kok Asing?
Mega nggak langsung pulang ke Jember. Dia ke rumah sakit dulu. Bahunya dibalut, lututnya diperban. Tapi luka paling parah bukan itu melainkan ketika ia duduk di ruang tunggu rumah sakit, melihat berita TV isinya cuma skandal dana bansos dan selebriti kawin cerai.
“Kalau bukan karena cinta, aku udah berhenti dari dulu,” katanya.
Ibu, Pelukan, dan Realitas.
Di Jember, hujan deras menyambut. Ibunya memeluk erat. Tapi pelukan itu menyimpan luka: anaknya dihargai lebih di negeri orang daripada negeri sendiri.
“Nak, syukuri yang datang menjemputmu,” kata sang ibu bijak.
Mega hanya tersenyum. “Mega lahir dari rahim negeri ini, Bu. Tapi mungkin negeri ini belum siap punya anak seperti Mega.”
Garuda Itu Kembali. Tapi Sayapnya Patah.
Patah bukan karena musuh di lapangan. Tapi karena negara ini lebih cepat menyambut buzzer daripada bintang olahraga.
Yah, beginilah negeri kita. Negara yang bangga kalau ada atlet berprestasi, tapi pura-pura lupa saat harus menyambut dan menghargainya.
Tapi tenang, Garuda. Kami, rakyat kecil yang masih waras, masih percaya padamu. Sayapmu mungkin patah, tapi semangatmu itu yang bikin kami percaya bahwa negeri ini belum sepenuhnya kehilangan arah.
Karena negeri ini boleh membisu.
Tapi kami tak akan diam !
[Aps]
Sumber : Gareng Petruk