Oleh : Saprudin.
DPD IWO-I Kab. Serang dan Redaksi Botvnews
Di era digital, kita tahu segalanya, kecuali kenyataan bahwa kita sedang dibodohi.
Kita paham politik itu kejam, namun kita tetap percaya pada janji-janji manisnya. Kita sadar, tapi kita tidak benar-benar bangun.
Rakyat diberi uang tunai, anak-anak disuapi makan gratis, tapi kita tidak melihat bahwa tangan yang memberi adalah tangan yang menagih pajak lebih dalam.
Kita bersorak menerima bantuan, lalu terdiam saat gaji pejabat dinaikkan. Kita menuntut keadilan, tapi lupa siapa yang menulis naskah ketidakadilan itu.
Kita marah, lalu berdemo. Kita kecewa, lalu ikut gaduh. Tapi kita tidak sadar bahwa kita bukan pelaku perubahan kita hanya peluru dalam senjata kekuasaan.
Kita ingin membela kebenaran, tapi sering kali justru menembak diri sendiri.
Musibah terbesar umat bukanlah kemiskinan atau penjajahan, tapi perpecahan.
Kita ingin menang, tapi enggan bersatu.
Kita bicara cinta, tapi menyimpan dendam.
Kita mengagungkan generasi awal, tapi menolak prinsip yang membuat mereka mulia.
Kita mengaku mencari kebenaran, tapi fanatik pada pendapat sendiri.
Kita ingin menyatukan umat, tapi memecahnya dengan kata-kata tajam.
Kita ingin lembut, tapi memilih keras. Kita ingin damai, tapi menyulut api.
Dan inilah paradoks terbesar:
Kita tahu jalan keluar, tapi terus memilih pintu yang sama.
Antara banyak keinginan dan keengganan.
Salam Redaksi.