Head to Head Nana vs Deden: Menakar Potensi Calon Sekda Banten dalam Bingkai Regulasi dan Meritokrasi

[Akademisi, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik UNIBA Banten]

Pemerintah Provinsi Banten sedang memasuki fase penting dalam pengisian jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) definitif.

Dari enam nama yang telah disaring melalui rekomendasi Badan Kepegawaian Negara (BKN), dua figur mengemuka dalam eskalasi wacana publik: Nana Supiana, Kepala BKD dan mantan Pj. Sekda, serta Deden Apriandhi, Plh. Sekda dan Sekretaris DPRD.

Keduanya adalah birokrat senior yang memiliki rekam jejak panjang di lingkungan Pemprov Banten, dan kini tengah menjadi sorotan tajam dalam kontestasi strategis ini.

Publik pun terbelah dalam penilaian. Nana dikenal sebagai birokrat teknokratis dengan kepakaran di bidang kepegawaian, sementara Deden memiliki kedekatan dengan dinamika legislatif dan kemampuannya menjalin komunikasi lintas lembaga. Head to Head ini menciptakan dinamika politik-birokrasi yang menarik, sekaligus menguji integritas sistem merit yang menjadi landasan reformasi ASN.

Namun demikian, muncul riak opini yang mempertanyakan kelayakan salah satu kandidat, yakni Nana Supiana, karena saat ini masih berpangkat golongan IV/c. Isu ini bergulir menjadi bahan perdebatan publik dan bahkan sempat diposisikan sebagai kelemahan administratif yang dinilai krusial.

Di sinilah pentingnya klarifikasi normatif agar publik tidak terjebak dalam interpretasi yang keliru.

Dalam konteks ini, penegasan dari Muhlis Irfan, Pengawasan Bidang Penerapan Sistem Merit Wilayah I, menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa meskipun jabatan Sekda sebagai eselon I.b idealnya diisi oleh PNS berpangkat IV/d, namun tidak tertutup kemungkinan bagi kandidat berpangkat satu tingkat di bawahnya, yakni IV/c, untuk mengikuti seleksi.

Artinya, secara normatif tidak ada pelanggaran prosedural dalam pencalonan tersebut, asalkan kandidat memenuhi persyaratan lainnya sebagaimana diatur dalam regulasi yang berlaku.

Pernyataan ini sejalan dengan substansi dalam Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, serta diperkuat oleh PermenPAN-RB No. 15 Tahun 2019 dan No. 3 Tahun 2020 yang menekankan pentingnya prinsip meritokrasi bukan semata-mata kepangkatan sebagai dasar dalam pengisian jabatan pimpinan tinggi. Sistem ini bertumpu pada kompetensi, kualifikasi, rekam jejak, dan integritas.

Dengan demikian, narasi yang secara sepihak menjadikan kepangkatan sebagai tolok ukur utama bukan saja menyesatkan secara regulatif, tetapi juga berpotensi mengabaikan esensi dari sistem merit yang justru tengah diperjuangkan dalam reformasi birokrasi nasional. Golongan IV/c tidak dapat secara serta-merta dijadikan alasan untuk mendiskualifikasi kandidat yang telah memenuhi kriteria substansial.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak khususnya masyarakat sipil, media, dan kalangan akademik untuk mengawal proses seleksi ini agar berjalan secara transparan, objektif, dan bebas dari intervensi non-administratif. Seleksi Sekda bukan sekadar proses teknis birokrasi, tetapi juga simbol dari komitmen tata kelola pemerintahan yang berintegritas.

Banten membutuhkan figur Sekda yang bukan hanya cakap secara administratif, tetapi juga memiliki kapasitas menjembatani kepemimpinan kepala daerah dengan struktur birokrasi, menjaga kesinambungan program pembangunan, dan membangun sinergi lintas sektor. Maka, fokus semestinya diarahkan pada kualitas kepemimpinan, visi birokrasi, dan keberanian melakukan inovasi struktural.

Publik Banten kini tak hanya menunggu siapa yang akan terpilih, tetapi juga menilai bagaimana proses itu dijalankan. Hanya dengan menjunjung tinggi asas legalitas, transparansi, dan meritokrasi, maka hasil akhir seleksi akan memiliki legitimasi kuat baik secara hukum maupun moral di mata masyarakat luas.

[Redaksi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250