Ini Dokumen Kesepakatan Tahun 1992 Jadi Rujukan Sengketa Empat Pulau Aceh-Sumut

Penyelesaian sengketa ini harus kembali pada dokumen hukum dan sejarah yang valid, bukan sekadar interpretasi peta tanpa konteks

Jakarta||botvkalimayanews.com||Penulis dan jurnalis senior, Murizal Hamzah memaparkan temuan penting berupa dokumen “Kesepakatan Bersama Antara Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatra Utara dan Pemerintah Daerah Istimewa Aceh Tahun 1992”.

Hal itu disampaikannya dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Aceh Jakarta pada Sabtu (14/06/2025).

Dilangsir dari laman tribungayo.com, dikatakan, dokumen ini menjadi salah satu rujukan historis dalam polemik status empat pulau tak berpenghuni yang saat ini dipersengketakan antara Provinsi Aceh dan Sumatra Utara.

Dokumen tersebut terdiri atas dua bagian utama, yaitu kesepakatan tertulis yang memuat klausul pembagian wilayah administratif serta lampiran peta yang ditandatangani oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Raja Inal Siregar dan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh, Ibrahim Hasan.

Kesepakatan ini turut disahkan oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini.

Dalam peta yang dilampirkan, keempat pulau yang kini disengketakan Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Besar, dan Mangkir Kecil ditunjukkan berada dalam garis wilayah administrasi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Letaknya berada di lepas pantai barat laut perairan Aceh Singkil dan Subulussalam, yang selama ini menjadi bagian yurisdiksi Aceh baik dalam praktik pemerintahan maupun layanan publik.

“Kesepakatan tahun 1992 ini bukan sekadar catatan administratif, tetapi bentuk pengakuan formal antardaerah atas batas wilayah masing-masing.

Ini seharusnya menjadi dasar yang sahih dalam menyelesaikan konflik tapal batas secara damai dan bermartabat,” ujar Murizal dalam paparannya.

Murizal menambahkan bahwa dokumen ini mempertegas posisi Aceh terhadap empat pulau yang baru-baru ini disebut dalam surat keputusan Kementerian Dalam Negeri sebagai bagian dari Sumatra Utara.

“Padahal secara historis, administratif, dan bahkan dalam pelayanan publik, wilayah-wilayah itu selama ini diurus oleh Pemerintah Aceh,” ujarnya.

Diskusi virtual ini diikuti oleh berbagai kalangan, termasuk wartawan, akademisi, aktivis masyarakat sipil, dan tokoh-tokoh Aceh di perantauan.

Mereka menilai bahwa penyelesaian sengketa ini harus kembali pada dokumen hukum dan sejarah yang valid, bukan sekadar interpretasi peta tanpa konteks.

Surat Kesepakatan antara Gubernur Sumut (Raja Inal Siregar) dan Gubernur Aceh (Ibrahim Hasan) tahun 1992.

Latar Belakang Kesepakatan 1992.
Pada tahun 1990–1992, terjadi ketegangan antara Sumatera Utara (Sumut) dan Aceh terkait klaim atas empat pulau di wilayah Singkil :

1.  Pulau Panjang
2. Pulau Mangkir Gadang
3. Pulau Mangkir Ketek
4. Pulau Lipan

Konflik ini memicu ketidakstabilan di perbatasan, termasuk sengketa penangkapan ikan dan pengelolaan sumber daya laut.

Akhirnya, pada tahun 1992, dengan mediasi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saat itu, Rudini, kedua gubernur menyepakati resolusi batas wilayah.

Isi Pokok Kesepakatan 1992.
Dokumen kesepakatan tersebut menegaskan:

1. Keempat pulau diakui sebagai bagian dari Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Aceh.
2. Sumut tidak boleh lagi mengklaim kedaulatan atau mengeluarkan izin usaha di wilayah tersebut
3. Pengelolaan sumber daya alam (perikanan, pariwisata, dll.) menjadi hak penuh Aceh.
4. Hanya kerja sama teknis (seperti konservasi laut lintas batas) yang boleh dibahas bersama.

Kesepakatan ini ditandatangani di Jakarta, disaksikan langsung oleh Mendagri Rudini, dan dianggap sebagai final dan mengikat.

Status Hukum Kesepakatan ini.
Diperkuat oleh UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (Pasal 246 menyatakan batas wilayah Aceh mengacu pada peraturan sebelumnya).

Dikuatkan lagi oleh Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 01.P/HUM/2013 yang menolak gugatan Sumut.
Tercatat dalam arsip nasional Kementerian Dalam Negeri sebagai dokumen resmi penyelesaian sengketa.

Mengapa Sumut Kembali Mengklaim?.
Meski ada kesepakatan 1992, pemerintah Sumut di era berikutnya (termasuk Bobby Nasution) mencoba mengabaikannya dengan alasan :

1. Potensi ekonomi besar (ikan, wisata, migas).
2. Dukungan pengusaha yang ingin berinvestasi di pulau-pulau tersebut.
3. Politik identitas nuntuk memperluas pengaruh Sumut.

Aceh konsisten menolak klaim baru ini karena: 
Kesepakatan 1992 masih sah. 
UU Pemerintahan Aceh sudah jelas. 
– MA telah memenangkan Aceh. 

Anekdot: “Bobby Bawa Peta, Tapi Lupa Baca Arsip”

Kesimpulan
Kesepakatan 1992 adalah final dan masih berlaku hingga kini.
Aceh memiliki dasar hukum kuat (UU, putusan MA, dan dokumen historis).
-Upaya Sumut mengklaim ulang adalah pelanggaran kesepakatan nasional.

Pesan Aceh:
“Kami menghormati sejarah, hukum, dan janji lama. Sumut harus berhenti mengada-ada.”

Jika Sumut terus memaksa, kelihatannya Aceh siap membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional sekalipun.

Kesepakatan ini tidak boleh dihapus dari sejarah.

[Redaksi]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250