Oleh: Agus Chepy Kurniadi
Negara hukum yang ideal bukan hanya berdiri di atas aturan tertulis, tetapi dijalankan oleh nurani yang adil dan bermartabat.
Namun, apa jadinya jika hukum hanya menjadi alat tukar kekuasaan? Ketika lembaga penegak hukum tak lagi independen, melainkan menjadi perpanjangan tangan para preman elite yang bertopeng penguasa?
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 tegas menyatakan: “Negara Indonesia adalah negara hukum.”
Namun hari ini, semangat pasal itu dirusak dengan telanjang. Hukum tidak lagi menjadi panglima, justru menjadi pelayan setia bagi kepentingan oligarki dan mafia kuasa.
Ketika laporan rakyat dibiarkan mengendap, bukti diabaikan, dan pelapor dikriminalisasi, maka hukum telah kehilangan arah. Tidak sedikit kasus di mana pelaku jelas-jelas teridentifikasi, tetapi proses hukum berjalan di tempat, sementara pelapor justru dipanggil, diintimidasi, bahkan dicari kesalahannya.
Di sinilah kita melihat: hukum telah dipelintir untuk membungkam kebenaran.
UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 17, menjamin perlindungan dari tindakan sewenang-wenang. Namun bagaimana jika lembaga yang seharusnya melindungi justru ikut menindas?
Sementara itu, pasal 421 KUHP dengan jelas menyebut: “Pegawai negeri atau pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, diancam pidana penjara 2 tahun 8 bulan.” Namun, dalam praktiknya, pelanggaran ini seperti angin lalu, tak tersentuh, jika pelakunya bernaung di balik institusi kuat.
Ketika kepolisian, kejaksaan, bahkan lembaga peradilan tunduk pada kekuatan informal, baik itu pengusaha hitam, oknum politikus, atau jaringan preman berseragam, maka keadilan bukan lagi cita-cita, melainkan barang mewah yang hanya bisa dibeli.
Ini bukan lagi negara hukum, ini negara yang diperjualbelikan!
Rakyat sudah muak! Rakyat sudah melihat terlalu banyak ketidakadilan yang ditutup-tutupi oleh bahasa birokrasi.
Di balik toga, seragam, dan meja kayu sidang, seringkali tersembunyi wajah-wajah preman yang lebih lihai menekan daripada menegakkan.
Jika hari ini para pegiat hukum, jurnalis, dan masyarakat sipil tetap diam, maka besok akan lahir generasi yang meyakini: hukum itu tidak adil, hukum itu tajam ke bawah dan tumpul ke atas, karena kita sendiri membiarkan keadilan dihancurkan oleh tangan-tangan kotor.