Tapera Menjauhkan Kewajiban Negara dalam Menyediakan Rumah untuk Rakyat

Oleh: Kahar S. Cahyono
Wakil Presiden FSPMI, KSPI, dan Ketua Bidang Infokom dan Propaganda Partai Buruh.

Hak atas perumahan bukan sekedar mimpi yang tergantung di langit-langit harapan.

Ia adalah hakikat manusia untuk hidup layak, di bawah atap yang melindungi dari deras hujan dan terik matahari. Di setiap jengkal tanah yang dipijak, tersimpan janji negara untuk menghadirkan keadilan, memberikan tempat yang pantas bagi setiap jiwa.

Rumah adalah ruang untuk bercengkerama dengan keluarga, melukis kenangan dalam bingkai kebersamaan. Maka, hak atas perumahan harus diwujudkan, demi martabat yang terjaga dan masa depan yang bahagia.

Kita sering kali dihadapkan pada sebuah pilihan yang sebenarnya bukan pilihan. Seperti angin yang membawa cerita dari masa lalu, Tapera hadir sebagai sebuah ironi bagi kelas pekerja, program ini yang seharusnya menjadi jawaban atas impian memiliki rumah, justru menjerumuskan kelas pekerja ke dalam ketidakpastian yang tak berujung.

Mari kita telusuri mengapa Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) justru menjadi nestapa bagi kelas pekerja.

Bayangkan, setelah bekerja keras selama sepuluh hingga dua puluh tahun, potongan iuran sebesar tiga persen dari upah buruh (2,5% dari pekerja dan 0,5% dari pengusaha) tak akan cukup untuk membeli rumah. Bahkan untuk sekadar membayar uang muka, iuran yang terkumpul terasa hanya setetes air di padang pasir.

Impian memiliki rumah menjadi seperti fatamorgana, terlihat dekat namun tak pernah terwujud.

Selain itu, tidak ada satu klausul pun dalam PP Tapera yang menjelaskan bahwa pemerintah turut serta dalam menyediakan rumah bagi buruh.

Iuran hanya dibayar oleh buruh dan pengusaha, sementara pemerintah tampak berlepas tangan, tidak menyisihkan anggaran dari APBN dan APBD.

Jelas terlihat di sini, Pemerintah berlepas tangan, sekedar sebagai pengumpul iuran.

Rumah, sebagai salah satu kebutuhan pokok selain sandang dan pangan, seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk setiap warga. Tak sekadar tempat berteduh, rumah adalah pondasi bagi kehidupan yang layak, tempat di mana keluarga berkumpul dan masa depan direncanakan.

Kewajiban pemerintah bukan hanya menyediakan tempat tinggal, tetapi juga memastikan akses yang adil dan terjangkau bagi semua.

Sebuah rumah memberi rasa aman, stabilitas, dan kenyamanan, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan kesejahteraan. Dalam setiap batu bata yang disusun, ada harapan dan hak yang tak boleh diabaikan.

Di sini, pemerintah harus berperan aktif, hadir nyata, memastikan setiap rakyatnya memiliki tempat untuk pulang.

Di tengah daya beli yang kian merosot tiga puluh persen dan upah minimum yang terkikis oleh UU Cipta Kerja, potongan iuran Tapera sebesar dua koma lima persen menambah beban hidup buruh.

Potongan iuran ini, ditambah dengan berbagai potongan lain seperti Pajak Penghasilan, Jaminan Kesehatan, Jaminan Pensiun, dan Jaminan Hari Tua, membuat total potongan hampir mendekati dua belas persen dari upah yang diterima.

Ini belum termasuk hutang koperasi atau perusahaan, jika buruh memilikinya, yang semakin membebani biaya hidup buruh.

Kerancuan dalam sistem anggaran Tapera juga membuka peluang besar untuk disalahgunakan.

Kita mengenal sistem Jaminan Sosial dan Bantuan Sosial, jika jaminan sosial, dananya berasal dari iuran peserta atau pajak atau gabungan keduanya dengan penyelenggara yang independen, bukan pemerintah. Sedangkan bantuan sosial dananya berasal dari APBN dan APBD dengan penyelenggaranya adalah pemerintah.

Model Tapera, rasanya bukanlah keduanya. Ini menimbulkan potensi besar terjadinya korupsi, penyalahgunaan dana yang tersimpan.

Karena pemerintah menyebut bahwa dana Tapera adalah tabungan, maka seharusnya dia bersifat sukarela, bukan memaksa. Sebuah tabungan idealnya lahir dari kesadaran dan keinginan individu untuk merencanakan masa depan, bukan dari kewajiban yang dibebankan.

Ketika tabungan berubah menjadi paksaan, esensi dari menabung hilang, berganti menjadi beban yang menekan.

Setiap buruh berhak menentukan bagaimana mereka mengelola pendapatan mereka tanpa tekanan.

Program yang baik adalah program yang menawarkan solusi, bukan menambah masalah !.

Tapera seharusnya memberikan fleksibilitas, mengundang partisipasi, dan menghormati hak individu untuk memilih.

Dengan demikian, tujuan mulia dari kepemilikan rumah bisa tercapai tanpa mengorbankan kebebasan dan kesejahteraan pekerja.

Untuk PNS, TNI, dan Polri, keberlanjutan dana Tapera mungkin berjangka panjang karena tidak ada PHK.

Tetapi untuk buruh swasta dan masyarakat umum, terutama buruh kontrak dan outsourcing, potensi terjadinya PHK sangat tinggi.

Oleh karena itu, dana Tapera bagi buruh yang ter-PHK atau buruh informal akan mengakibatkan ketidakjelasan dan kerumitan dalam pencairan dan keberlanjutan dana Tapera.
Terlebih dalam situasi, di mana UU Cipta Kerja menganut mahzab “mudah rekrut-mudah pecat”, nyaris tak ada lagi pengangkatan karyawan tetap, buruh rentan kehilangan pekerjaan di usia muda, sulit bekerja hingga usia pensiun tiba.

Tapera, yang seharusnya menjadi jalan menuju rumah idaman, justru menjadi labirin ketidakpastian. Dengan segala kerancuan dan beban yang ditimbulkan, program ini lebih banyak menambah derita daripada harapan.

Pemerintah harus hadir sebagai pelindung, bukan sebagai pengambil jarak.

Hak untuk memiliki rumah adalah hak asasi, jangan biarkan ia menjadi mimpi yang tak pasti. Inilah saatnya kita bersatu, berdiri teguh, menuntut keadilan. Demi masa depan yang lebih cerah, demi mimpi yang tak lagi tergantung di langit tanpa kepastian.
Botvbanten.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250